Skip navigation

Daily Archives: January 22nd, 2009

Kalau kita mendengar perkataan “Kasih” maka sepertinya identik dengan kelemahan. Orang dapat kurang ajar dan menginjak-injak kita tanpa ada pembalasan terhadap mereka. Sesungguhnya, Kasih itu bukanlah kelemahan tetapi justru Kasih itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Alkitab berkata, “Kasih itu tidak pernah gagal” artinya Kasih itu selalu berhasil sebab di dalam Kasih itu ada kekuatan yang dahsyat.

Dalam 1 Korintus 13:4-7, menjelaskan arti kata dari Kasih yaitu Sabar; Murah Hati; tidak Cemburu; tidak Memegahkan Diri; dan tidak Sombong. Melakukan yang sopan; tidak mencari Keuntungan Sendiri; tidak Pemarah; dan tidak menyimpan Kesalahan orang lain; suka Kebenaran; Menutupi dan Percaya segala sesuatu; Sabar menanggung segala sesuatu.

Dalam Matius 5:38-44, menjelaskan mengenai perbuatan Kasih…
Kalau kita memperhatikan firman Tuhan di atas, hal itu menunjukkan bahwa arti kata dan perbuatan Kasih itu sepertinya sebuah kelemahan dan kebodohan tetapi sesungguhnya merupakan gaya hidup Ilahi yang membawa kita kepada kemenangan dan kebahagiaan.

Bagaimana mengungkapkan kekuatan yang dahsyat di dalam Kasih?

Kedahsyatan kekuatan Kasih akan muncul apabila Kasih itu digunakan dengan cara-cara yang tepat…

Contoh: Seorang yang hanya memiliki sebutir peluru M-16 tidak akan pernah berdaya melawan orang yang memiliki sebilah Samurai, namun apabila sebutir peluru itu dimasukkan ke dalam senapan M-16 maka ia akan mengalahkan orang yang memiliki Samurai atau jago silat manapun. Sekali ditembak peluru M-16 itu dan mengenai sasarannya maka tamat riwayat musuhnya itu.

Kasih itu kalau dilihat dari satu segi kelihatannya lemah dan tidak memiliki kekuatan apapun namun apabila kasih itu digunakan pada alat yang tepat dengan cara-cara yang tepat maka di dalam kasih itu mengandung kekuatan yang dahsyat….

Seorang Ahli Alkitab pernah berkata bahwa Yesus Kristus itu bukan Pribadi yang ofensif yaitu suka menyerang; Yesus tidak pernah mengajar, ”bunuhlah setiap orang yang menolak Aku dan pengajaran-Ku; hancurkanlah mereka dan binasakanlah sampai ke anak cucunya.” Yesus tidak pernah mengajarkan orang menjadi ofensif secara fisik.

Yesus Kristus juga bukan Pribadi yang defensif yaitu suka membela diri saat diserang atau dianiaya. Hal itu dibuktikan saat Dia ditangkap; Ia tidak melawan atau mengirim 12 [dua belas] pasukan malaikat-Nya untuk menolong Dia saat dianiaya oleh tentara Romawi. Ia diam dan tidak membela dirinya.

Tetapi Yesus adalah Pribadi yang Absorsif yaitu menyerap. Dia menyerap setiap serangan yang dilemparkan ke atas diri-Nya. Puncak dari seluruh serangan selama masa hidupnya adalah dari Getsemani sampai ke Golgota.

Yesus menyerap semua serangan Iblis dan Ia menghadapi dengan Roh-Nya dan puncaknya adalah saat roh maut menghantam diri-Nya dan Ia berkata, ”Ya, Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan Roh-Ku.” dan pada saat Ia menyerahkan nyawa-Nya, tubuh-Nya mati, Iblis berpikir bahwa ia telah mengalami kemenangan namun di alam maut, justru Yesus mematahkan roh maut dan mengalami kebangkitan pada hari ketiga sebagai tanda kemenangan-Nya atas Iblis; Dosa dan Maut.

Kunci kemenangan Kristus adalah pada saat Ia menggunakan Kasih dengan cara yang tepat. Di sini kita dapat melihat betapa dahsyatnya kekuatan kasih itu. Kekuatan yang sanggup menghancurkan Iblis dan perbuatan-perbuatannya.

Di dalam Kitab 2 Raja-Raja 6:14-23, menjelaskan sebuah kebenaran mengenai kekuatan kasih yang menaklukkan serangan musuh. Saat itu Raja Aram marah besar karena setiap rencananya selalu diketahui oleh Elisa sehingga ia bermaksud untuk mengepung dan menyerang Israel dengan mengirim tentara Aram dalam jumlah yang besar.

Bagaimana Elisa menghadapi serangan tentara Raja Aram itu? Ia tidak ofensif dan juga tidak defensif tetapi absorsif yaitu menyerapnya dengan tindakan kasih yang tulus. Ia berdoa agar Tuhan membutakan mata tentara Aram yang sedang mencarinya; lalu membawa mereka masuk ke dalam benteng Samaria; begitu mereka masuk orang Israel mengepung mereka, lalu Elisa berdoa agar Tuhan membuka mata mereka; mereka sadar bahwa mereka sedang terkepung oleh orang Israel.

Raja Israel berkata, “Apakah kita bunuh saja mereka itu?” namun Elisa berkata, “Jangan, apakah kamu biasa membunuh orang yang ditawan?” Apakah yang dilakukan oleh Elisa terhadap tentara Aram yang besar itu?

Tentara Aram dikalahkan oleh tindakan kasih… mereka diberikan makanan dan minuman; setelah puas dan kenyang, mereka disuruh pulang ke negerinya. Alkitab mencatat, “Sejak saat itu, tidak ada lagi gerombolan tentara Aram yang memasuki Israel…”

Sekali lagi, kasih membuktikan kekuatannya. Tentara Aram ditaklukkan oleh tindakan kasih yang tulus dan mereka tidak pernah memasuki wilayah Israel lagi.

Jadi, hidup itu perlu disiasati dengan strategi Ilahi. Strategi ilahi untuk menyiasati kehidupan adalah hidup di dalam kasih Allah. Kasih nampaknya lemah tetapi justru itulah strategi yang digunakan Allah untuk membinasakan Iblis dan perbuatan-perbuatannya.

Dalam 1 Korintus 13:8 mengatakan ”Kasih Allah tidak berkesudahan…” dengan kata lain Kasih Allah tidak pernah gagal, pudar, lenyap atau berakhir. Karena Allah adalah kasih, maka kalau kasih dapat lenyap, Allah pun dapat lenyap. Namun, Allah tidak pernah gagal, dan kasih-Nya juga demikian. Oleh karena itu betapa pentingnya hidup di dalam kasih Allah.

Bagaimana mengembangkan dan hidup di dalam kasih Allah itu?

Pertama, Kita harus belajar untuk merasakan dan memahami Kasih Allah
“Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.” [Efesus 3:17-18]

Sebelum kita bisa mengasihi orang lain, kita harus bisa merasakan dan memahami betapa dalamnya Tuhan mengasihi kita.

Mengapa Tuhan menginginkan kita untuk belajar merasakan dan memahami betapa besar kasihNya lepada kita?
Sebab “Kita dapat mengasihi karena Allah telah lebih dahulu mengasihi kita.” [1 Yohanes 4:19]. Cobalah belajar untuk melihat besarnya kasih Allah: Dia telah menebus semua dosa dan menanggung semua sakit penyakit kita. Dia telah mengangkat derajat hidup kita. Dia telah memberikan orang-orang yang baik dan mengasihi kita.

Mengapa begitu penting merasakan kasih Tuhan? Karena orang-orang yang tidak dikasihi [merasa dikasihi] cenderung sulit mengasihi orang lain. Ketika seseorang tidak merasakan kasih yang tulus dan sejati, ia cenderung tidak bisa mengasihi orang lain, sebab kita tidak bisa memberikan apa yang tidak kita miliki.

Seorang anak yang merasa dikasihi oleh keluarganya dan orang-orang di sekitarnya, ia cenderung bisa menghargai dan bersikap ramah dengan orang lain. Sebaliknya seorang anak yang tidak merasa dikasihi, ia cenderung menarik perhatian yang negatif, bersikap kasar dan kurang menghargai orang lain.

Belajar mengasihi berarti belajar untuk merasakan dan memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.

Kedua, Kita harus belajar berpikir dengan pikiran Kasih
”dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” [Filipi 2:4-5]

Apakah arti berpikir dengan pikiran Kristus? Kita harus belajar untuk mulai memberikan perhatian kepada kebutuhan orang lain; masalah-masalah orang lain; keinginan dan harapan orang lain; atau luka-luka orang lain bukan hanya menaruh perhatian kepada kepentingan sendiri.

Faktanya, orang yang terluka cenderung melukai orang lain. Jika seseorang melukai kita sesungguhnya ia melakukan itu karena ia sedang terluka. Apa yang perlu kita lakukan untuk menghadapi mereka? Seharusnya, kita tidak hanya memperhatikan kelemahan atau kejahatan mereka tetapi kita pun harus belajar untuk memikirkan alasan perbuatannya dengan cara melihat kebutuhan mereka. Kita harus belajar melihat kebutuhan mereka. Mereka butuh dikasihi, dihargai atau diterima.

Saya pernah mendengar kesaksian tentang seorang Pendeta, ketika ia sedang berjalan kaki menuju kediamannya tiba-tiba dihadang oleh seorang laki-laki sambil menodongkan pisau. Laki-laki itu meminta semua uang dan benda berharga. Pendeta itu dengan tenang dan lembut berkata, “Saya tidak membawa uang yang cukup untuk diberikan kepada Anda namun apabila Anda berkenan datanglah ke rumah saya, di sana saya masih menyimpan sejumlah uang dan saya akan berikannya kepada Anda. Laki-laki itu tidak dapat tahan menghadapi Pendeta itu, ia berlutut sambil menangis dan memohon maaf atas tindakannya. Namun demikian, Pendeta tersebut tetap mendesaknya untuk menerima sejumlah uang yang disimpannya itu. Pada akhirnya, laki-laki itu mengambil keputusan untuk bertobat dan mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Pendeta itu telah berpikir dengan pikiran kasih. Ia berhasil melihat tindakan laki-laki itu sebagai reaksi dari kebutuhan hidup yang tidak dapat di atasinya. Namun, ketika ia berpikir dengan pikiran kasih justru ia telah menyelamatkan jiwa laki-laki tersebut.

Seringkali, kita menemukan orang-orang yang menjengkelkan. Kalau kita mau belajar untuk berpikir dengan pikiran kasih, kita akan berpikir bahwa justru merekalah orang-orang yang paling membutuhkan kasih dari kita. Kita tidak boleh mengatasi dengan kemarahan dan membalas mereka yang telah menjengkelkan kita. Kemarahan kita justru akan menguatkan cengkraman Iblis atas hidup mereka. Belajarlah berpikir dengan pikiran kasih; ucapkanlah perkataan yang mengandung damai sejahtera dan perkataan berkat untuk mereka sebab semua itu akan melemahkan cengkraman Iblis atas hidup mereka.

Kita tidak bisa mengubah perasaan kita tetapi kita dapat mengubah cara berpikir kita tentang orang yang telah menjengkelkan kita. Ketika kita mengubah cara berpikir mengenai seseorang secara bertahap kita sedang mengubah perasaan hati kita terhadap orang tersebut.

Kita harus belajar mengganti cara berpikir yang hanya memperhatikan kelemahan, kejelekan atau kejahatan orang tersebut sebaiknya kita mulai berpikir mengenai kebutuhan-kebutuhannya, semuanya itu akan mengubah perasaan kita, menjadi perasaan yang penuh kasih.

Mulailah belajar berpikir dengan pikiran kasih.

Ketiga, Kita harus belajar mengampuni musuh-musuh kita.
”Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” [Kolose 3:13]

Adalah tidak mungkin untuk mengasihi seseorang dengan sungguh-sungguh dan pada saat yang sama jengkel atau dendam dengan orang lain. Hati kita harus utuh. Kita tidak bisa sungguh-sungguh mengasihi pasangan kita jika kita masih marah dengan orang tua kita. Kita tidak bisa mengasihi anak-anak kita jika kita masih marah dengan pasangan kita.

Kita tidak bisa memberikan kasih yang sepenuhnya saat hati kita tercemar dengan racun kebencian. Kita mungkin masih mempunyai masalah dengan masa lalu dan menyimpan dendam dan kebencian terhadap seseorang. Inilah penyebab mengapa kita tidak bisa mengasihi pasangan kita.

Apabila kita mau belajar mengasihi orang lain sekarang, kita harus menutup pintu terhadap kekecewaan dan kepahitan masa lalu. Hanya ada satu caranya yaitu mengampuni. Ampunilah orang-orang yang telah melukai diri Anda. Pengampunan adalah untuk kepentingan Anda sendiri bukan karena dia layak untuk diampuni. Apabila Anda melakukannya maka hati Anda akan pulih dan Anda dapat mengasihi sepenuh hati orang-orang yang Anda kasihi.

Penutup:
Kasih Allah adalah kekuatan yang dahsyat. Salib Kristus adalah wujud dan bukti kasih Allah. Kasih yang telah membinasakan perbuatan Iblis yaitu Dosa, kutuk, sakit penyakit, kelemahan, kemiskinan, kematian.

Kunci mengalami kemenangan dan kebahagiaan adalah memiliki kasih Allah dan hidup di dalam kasih-Nya. Anda harus belajar untuk merasakan Kasih dengan mengakui betapa besar kasih Anda kepada Allah dan firman-Nya; berpikir dengan pikiran kasih dan belajar mengampuni.